Siapa Nama Anda ?




Salah satu tabiat dasar manusia adalah member label pada apapun yang mereka temui

- Reza Yoga (2010)-







“Apalah artinya sebuah nama”. Bagi saya itu adalah ungkapan paling populer di muka bumi. Hampir semua orang di dunia ini mengetahui ungkapan itu. Di Indonesia, kepopuleran ungkapan tersebut setara dengan ungkapan : nama adalah do’a. Tak ada yang salah dengan ungkapan-ungkapan tersebut, dan saya memang tak bermaksud menyalahkan ungkapan tersebut, baik dari segi bahasa maupun dari segi makna.


Yang jelas, kedua ungkapan terpopuler versi saya tersebut sama-sama mengandung dua unsur utama, yaitu nama. Sebegitu penting kah sebuah nama ? well, jangan tanyakan itu pada saya, karena pertanyaan tersebut telah masuk “daftar pertanyaan tidak penting” versi saya.


Saya adalah salah satu orang yang menganggap nama itu penting. Bahkan sangat penting. Coba saja pikir : mengapa “nama” menjadi data pertama yang harus kita isikan dalam setiap formulir, maupun lembar isian data diri lain ? atau mengapa pengarang anonim (tanpa nama) tidak boleh dijadikan rujukan dalam menyusun tulisan ilmiah ?


Salah satu tabiat dasar manusia adalah member label pada apapun yang mereka temui. Dalam tulisan ini, saya menganggap nama termasuk dalam label-label tersebut. Label tersebut digunakan manusia untuk mempermudah komunikasi.


Sebagai contoh : manusia memberi label “kursi” pada benda yang biasa kita gunakan untuk duduk. Sayangnya kursi memiliki berbagai macam variasi, baik dari bentuk, bahan, maupun fitur yang melekat padanya. Akhirnya muncullah label-label berbeda yang memiliki makna umum yaitu tempat duduk.


Sebut saja dingklik (bahasa jawa) - sebutan untuk kursi kecil yang tingginya hanya +/- 30 cm, lincak(bahasa jawa) - sebutan untuk kursi panjang yang biasa dipakai untuk rebahan, kursi - untuk menyebut kursi standar pada umumnya, bangku - yang biasa digunakan untuk menyebut kursi yang dipakai di sekolah.


Begitu pula label yang digunakan manusia. Keberagaman manusia yang sangat komplek mendorong manusia memberikan nama yang unik sebagai identitas yang membedakan manusia satu sama lain. Entah mendapat pengaruh dari siapa, manusia menuangkan harapan-harapan mereka melalui label (baca : nama) yang akan diberikan pada si penyandang nama.


Mulai dari ayu yang berarti cantik, bagus yang berarti tampan, Michael agar ia seperti malaikat (mikail), dan masih banyak lagi. Tapi tak sedikit juga yang memiliki pemikiran bahwa kita tak harus selalu mengikuti trend masyarakat (menuangkan harapan kita terhadap anak melalui nama). Sebut saja melly goeslaw yang member nama “anakmu lelaki hoed” kepada putra pertamanya.


Saya tidak berusaha mengatakan hal itu bemar atau salah. Akan tetapi hal itu jelas bertentangan dengan pemikiran saya. Bagi saya, esensi yang dimiliki sebuah nama tidak terbatas pada esensi eksplisit saja, yaitu sebagai alat pembeda yang memudahkan kita untuk membedakan dan mengenali orang lain di dunia. Nama juga memiliki esensi implisit.


Nama menjadi salah satu do’a orang tua yang diberikan pada putra/putrinya. Nama mengandung esensi penghargaan terhadap diri, penguat identitas / jati diri, bahkan bagi beberapa orang, nama dapat meningkatkan harga diri dan menjadi simbol yang prestisius (contoh : gelar Raden).


Saya sendiri lebih suka apabila orang menunjukkan namanya dengan baik. Sehingga saya bisa menghormatinya dengan lebih baik dengan cara memanggil nama kesukaannya. Menghargai wilayah pribadinya dengan memberikan pengakuan terhadap eksistensi ke-aku-annya.


Jadi, beritahukan nama anda kepada saya dengan baik, karena saya ingin menghargai anda.




2 comments: