Bakpia Oh 'Bakpia'





Komunikasi bisa diartikan sebagai proses pertukaran dan pemaknaan pesan berupa serangkaian simbol antara komunikan dan komunikator. Oleh karena itu pembahasan mengenai komunikasi, tak bisa lepas dari pembahasan mengenai simbol. Simbol dapat berwujud kata, gerak tubuh, ekspresi, dan lain sebagainya. Pembicaraan menjadi menarik ketika membahas tentang asal-usul simbol. Misalkan siapa yang pertama kali menamai tempat untuk duduk sebagai kursi, bagaimana kursi bisa menjadi pemahaman bersama, memiliki satu pengertian, yaitu tempat untuk duduk, sampai mengapa terdapat perbedaan simbol dalam melambangkan sesuatu. Di Indonesia disebut kursi, sedangkan di Inggris disebut chair.

Perbedaan simbol inilah yang menjadi titik perhatian saya. Kondisi geografis, sosial budaya, hingga tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang tidak sama, baik antar individu maupun antar kelompok sosial menimbulkan perbedaan dalam penggunaan simbol. Sebuah simbol dalam suatu kelompok sosial, dapat berubah makna apabila digunakan pada kelompok sosial lain. Kata abang dalam kamus bahasa jawa memiliki arti yag sama dengan kata merah pada bahasa indonesia. Akan tetapi, kata abang tersebut akan berubah maknanya menjadi sama dengan kata kakak laki-laki apabila dibawa ke daerah jawa barat, Jakarta dan sekitarnya.

Secara pribadi, saya pernah mengalami kejadian menarik yang berhubungan dengan perbedaan penggunaan dan pemaknaan simbol tersebut. Kejadian ini saya alami saat saya belum lama tinggal di kota malang.

Pagi hari yang cerah, dan saya memutuskan untuk membeli sarapan di warung seberang jalan dengan beberapa teman saya. Saat memesan makanan masing-masing, mata saya tertuju pada sebuah meja dengan berbagai macam jajanan tertata rapi di atasnya. Ada satu makanan yang kukenal. Makanan berupa adonan berbahan sayuran, tepung, telur, dan bahan lain, yang digoreng dengan cetakan seperti sendok yang berukuran 2 kali lebih besar. Di daerah asalku, magetan, makanan itu lazim disebut sebagai “bakpia”.

Oleh karena ingin membelinya, saya segera menanyakan harganya pada penjaga warung. Saya kaget saat mendengar jawaban penjaga warung yang mengatakan bahwa ia tidak menjual makanan bernama bakpia. Oleh karena penasaran, kupertegas pertanyaanku. “ itu lho bu, bakpia di atas meja itu harganya berapa ?”. kemudian ia menjawab lagi, “bakpia yang mana sih mas? Saya enggak jual bakpia”. Pagi itu sangat sepi, sehingga perdebatan kecil kami dengan sangat mudah menarik perhatian semua pengunjung warung yang sedang makan, tak terkecuali teman-temanku. Kemudian saya mengambil bakpia yang saya maksud dan menunjukkannya tepat di depan penjaga warung. “bakpia yang ini lho bu, harganya berapa ?” tanyaku dengan sedikit nada kesal. Ibu penjaga warung tersebut lantas tertawa dan kemudian berujar “ooo…heci itu ya mas, kalau itu harganya Rp 500,-“. Jawaban itu lantas disambut dengan ledakan tawa teman-temanku. Beberapa pengunjung warung, yang juga ikut memperhatikan kejadian itu dari tadi, bahkan ikut tersenyum. Aku yang hanya bisa diam tersipu malu, baru sadar apabila benda yang kumaksud, di daerah malang biasa disebut heci. Sedangkan di Malang, bakpia berarti kue yang di dalamnya berisi adonan kacang hijau.

Jelaslah di sini bahwa benda (fenomena) yang sama, dapat memiliki sebutan (simbol) yang berbeda hanya dikarenakan adanya perbedaan dimensi ruang. Efek yang ditmbulkan pun juga tidak sederhana. Mungkin dalam kasus ini terlihat sederhana. Akan tetapi apabila perbedaan penggunaan dan pemaknaan simbol tersebut terjadi pada ruang lingkup dunia yang lebih luas dan kompleks, maka efek yang akan timbul tidak bisa begitu saja kita sepelekan.

Pengalaman itu memberi saya pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Manusia hidup di dunia yang sangat kompleks. Terdiri atas beragam kolompok sosial berbeda, yang kesemuanya itu berpotensi menimbulkan perbedaan penggunaan dan pemaknaan simbol. Apabila efektifitas menjadi koridor dan landasan kita dalam berkomunikasi (ingat: setiap perilaku memiliki potensi komunikasi), maka mempelajari perbedaan penggunaan dan pemaknaan simbol menjadi wajib bagi setiap pelaku komunikasi. Itulah yang membuat saya selalu antusias ketika mendengar istilah-istilah yang baru saya dengar, dan itu juga yang menyebabkan saya lebih memilih menggunakan loe-gue (atau saya-anda untuk kondisi formal) ketika berbicara dengan teman yang berasal dari daerah jabodetabek daripada menggunakan aku-kamu. Anda tahu mengapa ? Saya baru saja tahu bahwa aku-kamu hanya digunakan oleh dua orang yang hubungannya sangat intim semisal pacaran atau tunangan !