KATAK TULI




Berhentilah mendengarkan cemoohan dan berbagai umpatan kebencian yang tak berdasar, jadilah tuli dan teruslah melangkah.
- Reza Yoga (2013) -




Ada sebuah kisah imajiner tentang sekumpulan katak yang berusaha memanjat tebing. Dari puluhan katak yang ada di situ, hanya tiga katak yang menyatakan akan berhasil tiba di puncak. Sedangkan yang lain berusaha berfikir wajar dan menganggap bahwa memanjat tebing adalah hal yang mustahil bagi katak.

Katak-katak itu mulai mencibir ketiga katak ‘pemberani’ tersebut dengan berkata bahwa mereka sedang melakukan hal yang sia-sia. Sedangkan yang lain mulai bersorak-sorak memberi semangat, beberapa yang lain mulai sibuk memprediksi katak mana yang akan pertama kali sampai di puncak.

Dimulailah perjalanan ketiga katak tersebut sebagaimana sebuah kompetisi. Perlahan tapi pasti mereka mulai berada pada ketinggian yang berbeda. Entah memanjat, entah melompat, mereka melakukan segala cara untuk bisa sampai di puncak. Katak-katak yang di bawah mulai riuh. Mereka bersorak-sorak memberi semangat, tapitak sedikit pula yang terus meneriaki mereka untuk turun.

“sudahlah, kembali saja, kau tak akan pernah sampai di puncak, kau tidak punya tangan yang cukup kuat untuk mencengkeram batu yang ada di landaian curam di atas sana” teriak salah satu katak.

“daripada engkau jatuh dari ketinggian, lebih baik kau turun dan mengurungkan niatmu sekarang” teriak yang lain.

Hampir separuh perjalanan dan ketiga katak mulai kelelahan. Mendengar keriuhan kawan-kawannya, katak pertama mulai melihat ke bawah. Ia tak pernah menyangka sebelumnya akan bisa memanjat tebing setinggi itu. Namun di saat yang bersamaan, muncullah perasaan takut dan gamang, persis seperti apa yang diteriakkan kawan-kawannya, bagaimana bila tanganku tak cukup kuat ? bagaimana jika aku jatuh ?

Pegangannya terlepas hingga akhirnya ia terjerembab di tanah. Ia gagal. Hal yang sama juga menimpa katak kedua. Teriakan kawan-kawannya terus menghantui. Pada sebuah titik pegangannya mulai ragu, ia tak mencengkeram dengan cukup kuat dan akhirnya harus jatuh. Menyusul katak pertama, ia pun gagal dengan luka yang lebih parah.

Kini tinggal katak ketiga yang sudah sampai di tiga per empat perjalanan, dan teriakan kawan-kawannya makin menggila, bukan main riuhnya. Beberapa katak yang tadinya sempat ragu dan meneriaki untuk turun kini mulai berbalik menyemangatinya. Sedangkan beberapa yang lain mendadak tak bisa berkata-kata karena tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.

Melihat posisi katak ketiga yang semakin meninggi menuju puncak, beberapa katak mulai khawatir dan memaksa untuk menyudahi perjalanannya dan segera kembali ke bawah. Namun katak ketiga tetap tak bergeming. Ia tetap saja dengan apa yang ia lakukan. Melompat, sesekali merayap dan sedikit memanjat. Akhirnya sampailah ia di titik klimaks perjuangannya. Ia berhasil sampai di puncak. Semua katak bersorak sorai menyambut keberhasilannya.

Semua katak mengelu-elukannya. Mereka mulai memujinya, ada yang mengatakan ia katak yang kuat, katak yang tekun, katak yang istimewa, katak ajaib. Tak ada yang tahu kenyataan sebenarnya bahwa katak ketiga tadi hanyalah seekor KATAK YANG TULI.

Sahabat, apakah anda pernah mengalami kejadian serupa ? pernahkah anda begitu dekat dengan impian, tetapi kemudian urung menggapainya, kemudian jatuh dan gagal hanya setelah mendapat cibiran dari orang tentang sisi lemah anda ?

Ya, berapa kali anda mendengar bahwa anda kurang tinggi, kurang cantik, kurang cerdas, anda tidak cukup bagus, anda akan gagal, kemudian anda benar-benar meyakininya dan menjadikan persepsi itu menjelma nyata dalam diri ?

Pernahkah anda begitu bersemangat mengejar cita-cita kemudian waktu anda habis disibukkan oleh kata-kata nyinyir dari para pencibir? akhirnya anda tak bergerak sedikitpun, dengan tanpa sadar membiarkan orang lain menggapai cita-cita mereka terlebih dahulu dan meninggalkan anda yang sedang sibuk dengan trauma persepsi yang dibisikkan dengan tajam di telinga ?

Mungkin inilah saat yang tepat untuk mencoba menjadi tuli pada para pencibir. Fokuslah pada potensi yang ada dan apa yang sedang anda bangun saat ini. Masukan orang lain memang perlu untuk evaluasi diri, tapi jangan sampai cemoohan itu menguasai diri kita. Jangan biarkan keraguan orang merasuk dan tertanam dalam diri kita. Jika anda sudah yakin dan mantap untuk melangkah, abaikan semua pesimisme yang merebak di sekitar.

Jika apa yang kita makan akan mempengaruhi kondisi fisik kita, maka apa yang kita dengar akan mempengaruhi pikiran kita. Berhentilah mendengarkan cemoohan dan berbagai umpatan kebencian yang tak berdasar, jadilah tuli dan teruslah melangkah. Suatu saat anda sampai di tujuan, dan anda hanya akan mendengar terompet kemenangan. 

MERENCANAKAN SEBUAH AKHIR


hidup ini tak selamanya, dan kita menjalaninya di tengah berbagai hal yang tingkat ketidakpastiannya sangat tinggi kecuali satu : kematian, dan kehidupan kekal setelahnya.
-Reza Yoga (2013)-




Kita hidup dengan segudang keinginan. Beberapa dari kita sangat serius dalam memenuhinya. Berbagai target kita buat, mulai dari yang besar hingga yang kecil. Mulai dari jangka pendek, menengah, hingga jangka panjang. Setelah target ditentukan, kita buat strategi pencapaiannya step by step dan mulailah kita melangkah untuk mewujudkannya.

Persiapan yang matang mutlak diperlukan untuk mencapai hasil yang maksimal. Begitu pula dengan target-target yang telah kita susun dalam hidup kita, butuh perencanaan matang dalam menyusunnya. Rencana yang jelas ibarat sebuah peta yang akan menuntun kita mencapai tujuan. Peta akan memberikan arah kemana kaki ini harus melangkah terlebih dahulu, perkiraan waktu dan jarak tempuh perjalanan, yang nantinya akan memudahkan kita untuk menentukan bekal apa saja yang harus kita persiapkan.

Detail itu akan memberikan rasa aman untuk kita. Bayangkan saja, kita pasti akan lebih cemas ketika terjebak dalam sebuah perjalanan yang tak jelas alamat tujuannya, berapa ongkosnya, kapan kita akan tiba di tempat. Kita akan terus dihantui rasa khawatir, jangan-jangan bekal kita tak cukup, jangan-jangan kita nyasar, jangan-jangan kita malah sedang melangkah menjauhi tempat yang kita tuju ?

Akan tetapi seringkali kita merasa terlalu percaya diri dengan segala persiapan yang sudah kita buat. Saat kita memiliki persiapan yang matang, rencana yang detail dan bekal yang cukup, kita sering lupa bahwa ada kekuatan yang jauh lebih besar dari kehendak kita, yang memiliki kuasa untuk menentukan apakah kita layak sampai di tujuan atau tidak.

Seorang sahabat saya sudah menyiapkan segala kebutuhan untuk memenuhi undangan pertukaran pemuda ke Luar Negeri. Saat itu semua persiapan sudah selesai disiapkan, hanya tinggal menunggu keberangkatannya saja. Di saat-saat terakhir menjelang hari keberangkatan sesuatu hal terjadi dan memaksanya untuk membatalkan keberangkatannya saat itu. Akhirnya ia harus berbesar hati untuk menerima kenyataan bahwa impiannya untuk bisa pergi ke luar negeri harus tertunda.

Sahabat, tak ada satu orang pun di dunia ini yang bisa memberikan jaminan kepastian atas terjadinya sebuah hal, termasuk jaminan kepastian bahwa semua target kita akan tercapai. Kita sering tak mengingatnya secara sadar. Kita sibuk bermimpi dan menyusun target hingga lupa mempersiapkan satu hal yang pasti datang dan terjadi dalam hidup kita. Kematian, dan kehidupan abadi yang akan kita jalani sesudahnya.

Bukankah setiap yang bernyawa pasti akan mati ? lantas kenapa kita masih tidak tergerak untuk menyiapkan kematian itu sebaik mungkin ?

Bukankah kehidupan setelah mati itu kekal ? lantas kenapa kita masih tidak tergerak untuk menyiapkannya sebaik mungkin ?

Nabi pernah bersabda bahwa Sesungguhnya segala  perbuatan ditentukan bagian akhirnya.” Lantas apa yang sudah kita lakukan untuk merancang akhir terbaik dari hidup kita ?

Kita begitu bersemangat ketika diminta untuk bekerja lembur agar bisa mendapat promosi kenaikan jabatan, tetapi begitu malas saat Tuhan meminta kita lembur ibadah di sepertiga malam terakhir demi promosi pangkat taqwa di akhirat.

Rencana liburan keliling eropa kita rencanakan dengan begitu detail hingga tak ada satupun tempat wisata yang rela untuk kita lewatkan, sedangkan untuk berhaji kita siapkan ala kadarnya dengan jatah tabungan dari gaji sisa.

Masa tua kita persiapkan matang dengan rancangan dana pensiun yang berlimpah, tetapi kehidupan kekal kita di kampung akhirat tak pernah dipersiapkan dengan bekal yang cukup.

Kita lebih sering lupa untuk menempatkan akhirat sebagai tujuan. Sehingga tak pernah ada persiapan matang yang mengiringinya. Padahal itulah tujuan yang kita pasti akan sampai padanya.

Kejarlah dunia, genggamlah di tanganmu, karena memang pada dunia ada bagian-bagian yang memang disiapkan untuk kita. Tapi pastikan capaian-capaian yang kita rencanakan itu juga turut mengantarkan kita pada kesiapan menghadapi kehidupan yang lebih kekal.

Membangun kerajaan bisnis, tanpa lupa untuk menjadikan sedekah sebagai pondasinya. Merajut karir tanpa lupa untuk menjadikan ibadah sebagai nyawa sulamannya. Menjelajah dunia tanpa melupakan safar-safar wajib yang harus kita tunaikan sebelumnya.

Dunia ada di tangan, dan akhirat ada di hati memberikan ruh pada setiap pekerjaan yang kita lakukan agar bernilai amal shalih. Hal ini mudah diteorikan dan memiliki tantangan tersendiri ketika diaplikasikan. Kita butuh untuk selalu dalam kondisi waspada dan sadar, bahwa hidup ini tak selamanya, dan kita menjalaninya di tengah berbagai hal yang tingkat ketidakpastiannya sangat tinggi kecuali satu : kematian, dan kehidupan kekal setelahnya.

Tak heran jika Rasul menyebut cerdas pada orang yang senantiasa ingat mati dan mempersiapkan bekal untuk menyongsongya, karena ia orang tersebut sadar betul secara hakiki mengenai apa yang pasti akan dihadapinya di masa depan.

Pada akhirnya, ini hanyalah sebuah ajakan untuk mempersiapkan dan menyusun perencanaan hidup kita. Bukan hanya kehidupan di dunia, tetapi juga kehidupan kita yang lebih kekal di akhirat nanti.
Semoga kita dipertemukan di surge-Nya kelak.

MENUNGGU BEBAN






Amanah hanya akan dibebankan pada pundak yang siap
-Reza Yoga (2013)-







Setiap manusia hidup dengan peran mereka masing-masing. Peran itu lah yang akhirnya turut melahirkan tanggung jawab. Saya biasa menyebutnya amanah. Ada amanah yang tersemat di setiap peran yang kita miliki, entah sebagai seorang anak, seorang mahasiswa, seorang karyawan, bahkan seorang pemimpin. Semuanya berdampingan dengan sebuah amanah. Tentu dengan kadar yang sesuai dengan kualitas pribadi tiap orang.

Amanah sejatinya tak bisa terhindarkan. Mau tidak mau, suka tidak suka, suatu saat akan sampai juga di pundak kita. Jika tidak sekarang maka besok, jika tidak besok maka lusa. Misal jika anda belum siap menikah sekarang, bukankah suatu saat nanti anda juga akan tetap menikah ? Sejak  awal penciptaan manusia di muka bumi ada amanah besar yang dibebankan pada seluruh manusia untuk memakmurkan bumi dan mengagungkan Tuhan, sedangkan amanah anda sebagai pendidik, penegak hukum, bahkan kepala keluarga, merupakan turunan dari amanah besar tersebut.

Apabila anda melihat dengan mata saya, anda akan melihat hidup ini seperti menaiki tangga. Kita berjalan tingkat demi tingkat, dengan standarisasi level dan berbagai amanah berbeda yang meningkat intensitasnya setiap kali anda menapaki anak tangga yang lebih tinggi. Anda tidak akan sanggup melangkah ke jenjang yang lebih tinggi jika anda belum menyelesaikan amanah anda di tingkat sebelumnya.

Jika kita tidak bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil dan sepele, bagaimana kita akan diberi tanggung jawab untuk masalah yang lebih besar ? apakah iya kita akan mendapat kepercayaan untuk mengurus keindahan tata kota jika mengurus kerapian kamar sendiri saja tidak becus ? bagi saya itu tidak pada tempatnya, dalam bahasa lain : Dholim. Dan bukan tabiat Tuhan untuk dholim terhadap hamba-Nya.

Sama seperti bahwa Tuhan tidak akan membebankan sebuah amanah melebihi kemampuan hamba-Nya. Amanah itu diberikan secara adil, merata sesuai kualitas dan kapasitas yang kita miliki. Akhirnya ketika suatu amanah datang kepada kita tanpa kita sangka sebelumnya, maka itu merupakan sebuah penanda bahwa kita sudah siap. Pertanda bahwa pundak dan hati kita sudah cukup lapang untuk menanggung segala konsekuensinya.

Jika memang demikian, hal terbijak yang bisa anda lakukan selama ‘menunggu’ amanah itu datang adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Agar kesiapan kita saat menerima amanah tersebut ada di kondisi paling prima. Serta menjaga suhu kerja kita tetap on fire sehingga kita bisa mencapai kecepatan maksimum bahkan saat amanah itu baru sampai di pundak kita.

Bukankah kita sibuk mempersiapkan diri ikut bimbingan belajar sebelum menyandang amanah sebagai mahasiswa ? bukankah kita sibuk mengikuti sekolah pra nikah sebelum menyandang amanah sebagai kepala rumah tangga ? bukankah kita sibuk mengikuti diklat pra jabatan sebelum menyandang amanah sebagai pemimpin ?

Ya, jika tidak sekarang, kapan kita akan menyiapkan diri untuk amanah-amanah tersebut, sedangkan kita tidak tahu kapan amanah itu akan datang.

Amanah itu memang berat, terkadang sampai memunculkan kegelisahan yang amat sangat. Tak cukup, setan kadang menelusup di dada dan terus meneriaki kita untuk mundur, berusaha meyakinkan bahwa kita tidak siap menanggungnya. Berhenti, mundur, dan menghindari amanah memang sebuah pilihan, tapi bukankah meningkatkan kualitas diri juga merupakan sebuah kewajiban (kebutuhan) ?

Menghindari amanah sama artinya dengan membatasi diri untuk berkembang, membentuk mental pecundang yang hanya bisa lari dari tanggung jawab, tidak mau memperbaiki diri, menghambat kita untuk naik ke anak tangga yang lebih tinggi. Sebuah anomali atas kondisi ideal manusia yang senantiasa bergerak, berkembang dan menigkatkan kadar kemanusiaannya ke derajat yang lebih tinggi. Ya, mirip anak SD yang tak mau naik kelas.

Ini hanya sebuah pengingat, utamanya untuk diri saya sendiri, bahwa waktu yang paing tepat untuk meng-upgrade diri sebelum amanah itu datang adalah saat ini. Oleh karena sudah berkali-kali diperingatkan bahwa amanah itu berat, jangan sekali-kali meminta sebuah amanah untuk datang pada kita. Mintalah pundak yang kuat untuk menanggungnya, karena Amanah itu hanya akan dibebankan pada pundak yang siap.