Giliran “Bambang” mau curhat


assalamu'alaikum wr. wb. 

Teater langit
menjejak bumi menengadah langit


Sebenarnya teater bukan barang yang baru bagiku. Selain bernyanyi, masa SMA ku banyak kuhabiskan dengan menonton pertunjukan seni peran, monolog, puisi, bahkan tak jarang aku terlibat di dalamnya, baik menjadi penulis naskah sampai jadi aktornya. Terakhir, aku dan 3 orang temanku berhasil menjuarai lomba visualisasi dongeng se-jatim yang kebetulan diadakan di tempatku kuliah, yaitu kota Malang.

Namun karena satu dan lain hal, aku memilih untuk berhenti dari kegiatan-kegiatan tersebut. Salah satunya karena alasan keyakinan. Tak perlu kuceritakan bagaimana detilnya, yang jelas, aku merasa bahwa aku harus mencari arah dan jalan yang benar dalam melakukan hal-hal tersebut. Prinsipku dalam berkesenian banyak yang bertolak belakang dengan para pelaku seni “kebanyakan”. Hingga akhirnya aku dipertemukan dengan Teater Langit.

Pertemuan itu terjadi secara tidak sengaja. Sesepuh teater langit adalah orang yang sama dengan orang yang menjadi bos di tempat kerjaku. Obrolan-obrolanku dengan beliau (sebut saja MJ –bukan michael jackson tapi mbah jiwo-) banyak memberiku gambaran bahwa kami memiliki visi yang sama tentang berkesenian. Hal itu membuatku tertarik, bahkan sangat tertarik untuk kembali menggeluti dunia teater.

Pertama kali bergabung, prinsipku adalah seberapa banyak pengalaman dan ilmuku, itu tak menjadikan aku lebih spesial dari anggota Teater Langit lainnya. Aku harus kembali mengawali semuanya. Aku belajar banyak dari MJ dan anggota lainnya tentang bagaimana ber-teater yang baik. Mereka banyak mengingatkanku tentang ilmu-ilmu teater yang sudah banyak kulupakan.

Segala proses terasa sangat membantu dan berlangsung dengan menyenangkan. Walaupun muncul hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti ketidak tepatan waktu,dan lain sebagainya. Tetapi aku selalu memiliki seribu alasan untuk memaklumi hal-hal tersebut. Salah satunya karena mereka-mereka yang tergabung dalam teater langit bukan “orang sembarangan” yang memiliki banyak waktu luang setiap harinya. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa aktif penggerak organisasi-organisasi di kampus masing-masing. Bahkan kebanyakan dari mereka menjadi pemimpin di organisasinya masing-masing.

Pengalamanku di teater langit (sebut saja TL) bertambah seru ketika TL mendapat undangan untuk tampil pada acara pekan buku brawijaya yang diadakan untuk memeriahkan acara Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional di UB Malang. Disitu aku mendapat peran pertamaku bersama TL. Setelah melalui diskusi panjang kami memutuskan untuk menampilkan sebuah lakon yang bertajuk “Presiden Gaplek”

Saat itu aku kebagian peran menjadi seorang dosen berpendidikan tinggi yang menjadi juri sebuah lomba. Tak ada yang salah dengan karakternya selain penampilannya yang super culun, ide-ide nya yang kontroversial (bahkan cenderung nyleneh), hingga kecintaannya pada Dewi Persik yang berlebihan. Bagi orang lain, mungkin peran itu tidak terlihat sulit. Tapi tetap saja menjadi tantangan yang memaksaku untuk mendalaminya dengan maksimal.

Usahaku tak sia-sia. Oleh anggota TL lainnya, penampilanku dihargai dengan sebuah gelar “best player” untukku. Tentu saja itu menjadi hal yang sangat istimewa bagiku mengingat itu adalah penampilan perdanaku di TL. Walaupun sebenarnya, senyum penonton yang puas dengan penampilan kami adalah penghargaan tertinggi bagiku. Bagaimanapun, gelar best player membuatku lebih termotivasi untuk terus menghasilkan karya yang lebih baik.

Tak lama setelah penampilan presiden gaplek, TL kembali mendapat undangan untuk tampil di depan seluruh mahasiswa baru univ.Brawijaya dalam acara grand opening mentoring (Genome). Pada kesempatan ini kami mementaskan “Mentoring Mengalihkan Duniaku”. Pada kesempatan ini juga aku harus mempertanggung jawabkan gelar best playerku dengan menjadi pemeran utama. Sempat grogi juga, tapi MJ selalu memberikan motivasi yang akhirnya membuatku semangat untuk terus maju (walaupun sebenarnya, MJ pun sempat ehm...ehm...putus asa sebelum hari-H, hehehe ).

Kali ini aku memerankan Bambang. Pemuda tanggung dari kampung yang diterima kuliah di Malang. Di Malang, ia bertemu dengan berbagai macam teman yang mengharuskannya untuk memilih apakah ia akan berteman dengan “good team” atau ”bad team”. Cerita semakin seru dengan adanya adegan kematian ibu bambang, dan mimpi buruk bambang. Akhirnya, kecintaan bambang pada ibunya membuatnya mantap untuk terus ada dalam jalan kebaikan, salah satunya dengan cara mengikuti Mentoring yang diadakan oleh kampusnya.

Seharusnya, memerankan tokoh bambang tidak menjadi suatu hal yang sulit, karena aku juga pernah mengalami hal yang sama dengan apa yang bambang alami. Yang membedakan adalah ibuku masih hidup,sedangkan ibu bambang sudah meninggal dunia. Latihan untuk pementasan kali ini pun berbeda dengan suasana latihan untuk pementasan sebelumnya. Pada awal latihan, MJ memberikan sebuah renungan mengenai ibu yang membuat air mataku meleleh, mengalir menganak sungai.

Banyaknya adegan menangis membuat pementasan ini menjadi pementasan yang menguras energi. Apalagi, pementasan ini dilakukan saat bulan puasa. Akan tetapi, gemuruh tepuk tangan penonton membuat semua rasa lelah hilang. Ekspresi penonton yang mengikuti ritme pementasan di tiap adegan (tertawa, bersorak, menangis, dll) semakin membuat kami yakin bahwa apa yang kami persembahkan kali ini adalah sesuatu yang benar-benar luar biasa.

Akan tetapi aku tak ingin keberhasilan pementasan kali ini menjadikan para punggawa TL(khususnya aku sendiri) menjadi lupa untuk berpijak di bumi. Masih banyak yang harus kami evaluasi, baik itu dari segi cerita, para pemainnya, properti, dll. Bagaimanapun, penampilan kali ini adalah sesuatu yang lebih dari sekedar berkesan di hati kami. Semangat untuk berkarya semakin menggebu, cakrawala impian kami semakin luas, pengalaman kami bertambah, dan keinginan untuk menyebarkan serta mengajak orang kepada kebaikan melalui teater semakin besar.

Sekali lagi, apa yang Teater Langit lakukan bukanlah “sekedar” ber-teater....



wassalamu'alaikum wr. wb. 

Reza “Bambang” Yogaiswara



4 comments: