untuk reza (2)"mengejar cita - cita" (dari blog sebelah)


Pagi ini, entah mengapa , setelah sholat subuh, ingatan ini langsung mengarah kepada Reza. Ehm..apa ya yang sedang dikerjakan anak itu ?
Segera kuraih hape, dan segera kukirim sebuah sms kepada mbak sulih.

“Asw. Mbak..bagaimana kepastian akh Reza? Sudah berangkat ke Malang atau belum?”

Sesaat kemudian saya dapatkan balasan dari mbak sulih.

“Wa’alaikum salam..ehm,.saya juga belum tau kepastianya dek akhi. Murobbinya dan para ikhwan belum membalas. Sabar ya..ana coba hubungi lagi....”

Tak lama setelah sms dari mbak sulih..nada dering hape ku menunjukan bahwa ada satu lagi pesan masuk.

“Asw. Mas..saya sudah di Jombang..tunggu ya mas,,sekarang saya sedang perjalanan ke Malang. Nanti mohon bantuan mas kalau saya dah sampe malang tak hubungi lagi.”
Segera kujawab..

“yup..semangat..Innallaha ma’ana”

Dan..ketika saya mau beranjak berdiri untuk bergegas mandi pagi, Mbak Sulih memanggil – manggil dari seberang kota. Pembicaraan via telefonpun kembali terjadi antara saya dengan beliau. Saling menanyakan dan memberi info tentang Reza. Ya, sejak kemarin memang sosok yang bernama Reza ini cukup menarik perhatian kami semua.

Baru saja setelah kumatikan hape, tiba – tiba ada nomer fleksi magetan , yang lagi – lagi belum dikenal, memanggil – manggil, meminta untuk segera dijawab. Oh ternyata..masya Allah, suara diseberang itu adalah suara dokter gigi Ustman Khadafi. Salah satu ustad idola saya, dulu, ketika masih SMA, tentu selain Ust Budi Setiawan , Uts, Wiyono dan beberapa ustad yang lain. Mengapa menjadi idola ? karena mereka semua adalah professional di bidangnya masing – masing , masih muda, namun pemahaman agamanya sungguh luar biasa, apalagi dengan didukung dengan kedekatan mereka kepada binaan. Tak jarang kepada beliau smualah permasalah – permasalah yang kami hadapi selalu dimintakan nasehat.

Pembicaraanpun mengalir dengan lancar. Seperti biasa, pembicaraan kami juga dimulai dengan basa – basi, sekedar untuk mencairkan suasana. Baru setelah beberapa saat, kemudian kami memasuki inti pembicaraan, yaitu tentang Reza. Yah, ternyata drg Ustman ini adalah murobbi reza saat kelas 3 SMA dulu. Drg Ustman memulai ceritanya dengan pribadi Reza, menceritakan siapa Reza, bagaimana latar belakang keluarganya, sampai bahkan yang terdetail tentang Reza. Dan satu hal yang membuatku terharu saat itu adalah, ketika drg Ustman mengatakan bahwa sejak di SMA Reza telah menjalani kehidupannya dengan keras. Dia menyambi menjual jajanan ringan kepada teman – temannya untuk bisa melanjutkan sekolah hingga tamat SMA. Tentang Kondisi keluarganya, yang sedang dilanda masalah beberapa waktu yang lalu. Bahkan sebagian besar gaji orang tuanya habis untuk menyicil uang angsuran hutang. MasyaAllah..ibunya Reza adalah seorang guru SMP. Sedangkan ayahnya adalah pensiunan pegawai bank BTPn. Memang secara kasat mata, harusnya kehidupan keluarga dengan pekerjaan seperti itu adalah normal – normal saja. Namun, entah ada masalah apa, yang kemudian membuat keluarga Reza bahkan tidak mempunyai uang untuk mendaftarkan anaknya di PTN terfavorit di Malang itu. Tentang kontribusi dalam dakwah, jangan ditanya.

Dari hasil pembicaraan dengan drg Ustman tersebutlah, kemudian semakin membuat saya mantab untuk membantu Reza sekuat tenaga agar bisa tetap kuliah di UB. Bahkan seandainya penundaan itu ditolak, maka saya siap untuk mencarikan dana agar Reza tetap bisa kuliah. Begitu bisikku dalam hati. Segera saja bisikan dalam hati itu terdefinitifkan dengan alunan tuts – tuts hape yang kutekan. Satu persatu kembali kuhubungi alumni – alumni yang kukenal. Ukhti Atik , sedang sibuk mengajar disebuah SD, dan berjanji akan segera menelfon balik saat nanti setelah selsai mengajar. Hanya Ukhti Ana dan mas Arifin yang saat itu memberikan respon. Ukhti Ana yang saat itu sedang mengajar diSD Dinoyo 2, menyempatkan untuk menelfon saya dan menanyakan perihal keadaan Reza. Demikian juga mas Arifin. Intinya..mereka semua siap membantu, mengusahakan semaksimal mungkin agar Reza bisa tetap kuliah.

Jam sudah menunjukan pukul 08.00, namun Reza belum juga sampai di Malang. Sempat terbersit kekhawatiran dalam hati ini, takut terjadi apa – apa kepadanya dijalan. Hal itulah yang menyebabkan saya beberapa kali mengirim sms untuk menanyakan dimana posisi keberadaannya sekarang.

Saya sudah sejak pagi standby di kampus. Menunggu kedatangan Reza dari Magetan. Sambil menunggu, saya pergi ngantor di lantai 2 UKM UB, yaitu kantor EM Pusat. Disana saya bertemu dengan pak presiden dan menteri PSDM. Pembicaraan – pembicaraan ringanpun mengalir diantara kami. Mulai seputar kabar masing – masing sampai pada masalah yang terjadi bangsa ini dan solusi apa yang bisa ditawarkan oleh EM UB. Dan dari obrolan sederhana , tanpa protokoler itulah lahir inspirasi baru untuk PSGK yang saya gawangi dengan ukhti Titik. Yaitu NGOPI , Ngobrol Pemikiran. Yang rencananya akan digelar rutin untuk membicarakan permasalahan bangsa ini dan solusinya dengan bersama para ahli dibidangnya. Sehingga namanya akan menjadi “Ngopi Bareng Yogi Sugito” (Jika nanti ahli yang kita undang kebetulan bernama Yogi Sugito).

Tepat pukul 9.20 . hapeku kembali bergetar. Ternyata Reza yang mengirim sms.

“Asw. Mas, saya sudah di gerbang UB, saya memakai celana hitam, jaket hitam, mio merah dan helm putih..”.

Sempat heran saya saat itu. Karena kabar yang saya terima pagi ini adalah bahwa dia ke Malang dengan naik bis, tapi sekarang dia sudah ada di UB dengan naik motor. Kok aneh ?

“W3. Alhamdulillah antum sudah sampai..lho? antum naik motor ta dari magetan? Tunggu bentar ya..saya segera ke gerbang”.

Segera saya bergegas menuju gerbang UB, untuk menjemput adek kelas yang baru saya kenal kemarin siang ini. Setelah sebelumnya menitipkan laptop kesayangan saya kepada akh menteri PSDM UB.

Saya sampai di depan gerbang. Kulihat kanan dan kiri., depan dan belakang, Namun tak juga kutemui orang dengan cirri – cirri yang di sms kan barusan. Tak mau menunggu lama, akhirnya kukirimkan segera sms kepada Reza .

“antum dimana akh? Ana ada didepan ATM..”

“wah mas..saya sudah terlanjur masuk ke UB. Ini yang ada didekat peta UB.”

Segera kulihat peta UB yang ada didepan fakultas kedokteran yang megah itu. Oh iya..ada seorang yang sedang nangkring di atas sepeda motornya. Segera ku rubah haluan. Motor segera kunyalakan dan berputar masuk kembali kedalam kampus. Segera, setelah mendekat dengannya. Kutatap wajah polos khas anak desa dari Magetan. Termasuk saya ini juga anak desa tersebut. Terbayang, mungkin dua tahun yang lalu kondisi saya tak jauh dari Reza sekarang. Cuma, dulu saya memang naik bis, tanpa alumni yang siap menjemput. Ibarat pasukan, saya ini adalah infanterinya. Yang membuka lading di UB. Nekad, ya hanya nekad yang ada didalam benakku 2 tahun yang lalu. Hanya berbekal nama dan nomer HP ketua kamda , akh Izul., saya memberanikan diri untuk berangkat ke Malang. Dan, sungguh persaudaraan karena Allah itulah yang sangat saya rasakan. Meski akh Izul, juga baru mengenal saya tak lebih dari seminggu, itupun hanya dari sms. Rasa saling percaya itu tumbuh subur diantara kami. Mungkin, karena energi positif itulah, yang kali ini juga menggerakan saya untuk menolong sesama muslim yang membutuhkan.

Seutas senyum manis, mengawali pertemuan kami. Walau benar – benar sebelumnya kami belum saling mengenal, kami sudah seperti saudara yang lama tak berjumpa.

“Assalamu’alaikum..ini Reza ya..?” Begitu tanyaku untuk mengawali pembicaraan.

“Wa’alaikum salam..iya saya Reza..ini mas Andrik ya..?” Begitu kata pertama yang saya dengar dari mulutnya.

“Iya..masyaAllah..” Jawabku singkat. Dan langsung memeluknya, layaknya yang dilakukan para sahabat ketika bertemu satu sama lainnya.

Sungguh pertemuan yang mengharukan. Ah, tapi kami ini ikhwan. Tak boleh lemah, tak boleh melankolis, harus tegar, perjuangan masih panjang. Segera kuseka air mata yang mengalir tipis di pipiku. Dan kulihat Reza melakukan hal yang sama. Dan, lalu kualihkan pembicaraan kepada hal – hal ringan. Seperti, jam berapa dari magetan, naik apa, diantar siapa, sampai bagaimana ikhwah dan kabar orang tuanya diMagetan. Dan, Rezapun dengan ramah dan luwes menjawab pertanyaan – pertanyaan yang saya yakin dia tahu bahwa itu adalah sekedar pertanyaan basa – basi untuk mencairkan suasana. Yah, terkadang basa – basi itu memang diperlukan dan penting juga.

Setelah acara ramah tamahnya kurasa cukup, maka kutanyakan kepadanya. Apakah mau langsung mengurus daftar ulang..atau mau istirahat dan sarapan dulu. Dengan tegas dia menjawab, bahwa ingin segera menyelesaikan permasalahan daftar ulang itu. Agar tak menjadi beban dan segera mendapatkan kepastian. Kutangkap sebuah tekad baja, dibalik kata – katanya itu. Dan, saya tak boleh melemahkan tekad itu.

Sesaat kemudian kami sudah melesat ke arah rektorat untuk menyelesaikan permasalahan daftar ulang itu. Kuparkir segera motor kesayanganku disamping pos satpam, tepat di sebelah selatan kantor rektorat delapan lantai itu. Dan kulihat Reza melakukan hal sama tak jauh dari tempatku memarkir motor. Beres dengan memarkir motor, kami melangkah ke rektorat lantai satu. Alhamdulillah disana telah menunggu antrian yang cukup panjang. Dan rata – rata yang antri adalah mahasiswa baru yang ditemani oleh orang tuanya masing – masing. Entah itu ibu atau ayahnya. Beda dengan saya dulu, atau akh Reza sekarang. Hanya Allah yang kami selalu yakin menemani kami dimanapun dan kapanpun. Alhamdulillah, saya ini pengurus EM Pusat, salah satu kordinator departemen yang cukup strategis malah. Jadi saya mengenal dengan baik personel advokesma yang sedang melayani para mahasiswa baru itu. Melihat saya datang, beberapa dari staff advokesma yang juga kader dakwah segera menyalami saya. Mempersilahkan duduk dan menanyakan perihal kepentingan saya datang ke tempat itu.

Selesai berbasa – basi sebentar, langsung saja saya ke inti pembicaraan untuk mengurus penundaan bagi Reza. Dan dengan cekatan, para staff advokesma ini melayani kami. Setelah dicek segala perlengkapan administrasinya, hanya 2 syarat yang kurang tepat. Yaitu surat pernyataan dan beberapa fotocopy document yang diperlukan. Sebenarnya surat pernyataan itu sudah dibuat sejak dimagetan, namun ternyata masih ada yang belum tepat mengenai formatnya. Dan ketika itu saya di daulat untuk menjadi walinya, yang mewakili tanda tangan ayahnya. Di atas kertas bermaterai 6 ribu. Beres dengan mengurus surat , kami keluar sebentar menuju perpustakaan untuk memfotocopy berkas yang masih diperlukan. Terlihat sekilas slip gaji dari orang tua Reza. Saat itu yang saya lihat adalah gaji ayahnya. Tertulis dengan jelas gajinya adalah Rp. 1.127.000,-. Ehm..cukup rumayan saya kira. Mengingat orang tua saya yang bukan PNS, gaji yang tak pasti tiap bulan. Saya fikir gaji segitu sudah cukup untuk menjamin kehidupan selama 1 bulan. Apalagi di daerah magetan, yang kebanyakan harga barang masih murah, bahka setau saya, ibu dirumah tidak pernah membeli sayur. Karena selain menanam sendiri, juga sering kalau ada tetangga yang kelebihan sayur akan dengan suka cita membaginya. Demikian juga dengan bumbu dapur. Oh..tunggu dulu. Mata saya terus menelusuri slip gaji itu, dan akhirnya terpana dengan tulisan , ”angusuran hutang : Rp. 1.050.000,-”, egh,,itu artinya, tiap bulan keluarga Reza hanya menerima pemasukan kurang lebih seratus ribu dari ayahnya. Wallahu’alam kalau gaji ibunya yang berprofesi sebagai guru SMP.

Selesai memfotocopy berkas, kami kembali bergegas menuju rektorat lantai 1, tempat dimana para advokat EM UB berkumpul.

Sampai di rektorat, segera kami mengecek kelengkapan penundaan. Setelah dirasa cukup, kami segera menuju lantai 5, tempat dimana bagian keuangan Universitas Brawijaya berada. Dengan didampingi sati staff advokesma, kami menuju lantai lima. Kali ini, Naik lift, meski bagi saya ini adalah hal yang biasa, namun bagi Reza adalah yang pertama sehingga mual – mual dan pusing pun melanda Reza. Karena memang tidak ada lift di magetan. Paling modern juga eskalator, itupun hanya bisa ditemui di supermarket – supermarket besar di Madiun. Sempat geli juga saya dibuatnya, menyaksikan seseorang yang sedang menilkmati pengalaman pertamanya naik lift. Canggung, grogi, dan senang bercampur jadi satu.

Saat lampu penunjuk lantai menyala pada bagian lantai yang kami tuju, lantai lima, kami segera menekan tombol open untuk memberhentikan dan keluar dari lift. Oh.Allahu Akbar, perkiraan saya salah. Hari – hari terakhir yang saya kira sudah sepi dari proses registrasi mahasiswa baru, ternyata justru terjadi sebaliknya . Antrian dibagian keuangan justru jauh lebih banyak dari beberapa hari kemarin ketika saya mengantar salah satu adek kelas yang lain. Subhanallah, ada wajah cemas, ada wajah emosi, ada wajah canggung, dan beragam ekspresi yang lain, tat kala saya cba mengamati sekeliling. Dan saya berharap bisa menampilkan ekspresi wajah setenang dan seteduh mungkin, minimal bisa membuat suasana sedikit lebih nyaman, baik untuk saya sendiri maupun untuk orang – orang disekitar saya. Rata – rata mereka yang ada disinii adalah mahasiswa baru yang sedang mengurus penundaan maupun keringanan pembayaran biaya masuk kuliah. Dan, kebanyakan pula, mereka datang dengan walinya masing – masing. Baik itu saudara, kakak, ataupun orang tuanya langsung. Seperti saya yangg juga sedang mendampingi Reza.

Sesaat setelah kaki ini menginjak lantai 5, segera saya mencari info untuk proses penundaan SPP itu. Ternyata masih antri sangat panjang. Tak ada pilihan kecuali menunggu giliran. Sempat was – was juga saat itu, apalagi ini adalah hari jum’at, hari kerja terakhir diminggu ini. Untung saja, yang kecemasan – kecemasan hidup itu telah begitu akrab dengan kehidupan saya, sehingga kecemasa kali ini hanyalah salah satu episode kecil dalam kehidupan saya. Tepat jam 11.15, petugas memanggil Reza, semua berkas diserahkan, dan diperiksa oleh petugas itu. Entah apa yang dilakukan, lalu petugas itu memasuki ruangan BAAK. 5 menit, 10 menit, belum juga kembali keluar. Tambah deg – degan pula hati ini dibuatnya. Sebentar lagi adzan jum’atan. Itu artinya kami harus mementingkan panggilan Allah. Dan..akhirnya bapak itu keluar juga. Namun bukan kabar gembira yang kami dapat. Hanya sebuah harapan baru yang diberikan.

”mas kembali lagi nanti jam 13.00, ini berkas anda masih dirapatkan, keputusan bisa ditunda atau tidak..bisa mas dapatkan nanti jam 13.00” Begitu kurang lebih kata – kata yang di ucapkan petugas itu.
Ehm..mau tidak mau kami harus ikut peraturan yang telah ditentukan. Kamipun turun ke lantai satu, untuk kemudian shalat jum’at. Sengaja saat itu, Reza saya ajak berjalan kaki menuju masjid kampus. Tentu agar selain lebih mengenal kampus ini, juga untuk lebih mengakrabkan kami. Sekitar 10 menit kami berjalan menuju Masjid Raden Patah UB. Disana sudah banyak orang, ada yang masih bergerombol di teras. Ad ayng sedang berwudhu. Ada pula yang sudah khusyuk membaca mushaf yang dibawa masing – masing. Ah, selalu saja masjid ini membuat saya selalu rindu untuk kembali lagi mengunjunginya setiap waktu. Setelah sampai dilokasi masjid, segera kami titipkan tas ditempat penitipan yang memang sudah disediakan.

Kemudian kami mengambil air wudhu, serta langsung bergabung dengan jamaah yang lain. Oya..ada yang berbeda dengan masjid ini sejak beberapa waktu yang lalu. Para takmir di akusisi oleh rektorat, sehingga kesan dari MRP sekarang adalah masjid yang ”garing”. Seperti siang ini juga. Khutbah yang biasanya disampaikan oleh ustad – ustad yang luar biasa membuat semangat jihad menggelora tidak lagi saya temui. Yang ada adalah sebagian dari jamaah malah menggunakan waktu khutbah ini sebagai istirtahat siang, alias tidur. Astagfirullah. ..

12.30, akhirnya sholat jum’at itu selesai kami kerjakan. Masih ada beberapa waktu kedepan untuk istirahat, sambil menunggu jam 13,00 untuk bisa mengetahui keputusan dari rektorat. Segera kuajak reza untuk makan siang. Karna saya yakin, kalau berangkat dari maagetan saja , dini hari pasti ia tidak sarapan. Apalagi tadi pagi waktu saya tawarkan untuk sarapn dia tidak mau. Kali ini saya mengajaknya ke tempat nasi lengko dan ketoprak langganan saya didepan MRP. Sambil menunggu pesanan jadi dia saya tinggal untuk mengambil laptop disekret EM yang tadi pagi dipinjam oleh pak menteri PSDM.

Kembali dari sekret EM, ternyata telah berkumpul banyak tokoh kampus. Ada pak presiden, akh danang, akh amir dan banyak lagi, tentu hal ini secara tidak langsung juga memberi motivasi tersendiri bagi Reza, Banyak hal yang kami perbincangkan saat itu. Mulai dari basa basi sampai kepada permasalahan yang urgen untuk dunia dakwah ini. Apalagi dengan pembicaraan – pembicaraan khas akh Nana yang seperti itu, kelihatanya semakin memantapkan langkah Reza untuk harus masuk di kampsu biru ini. Tak terasa, obrolan ringan itu seakan mempercepat putaran jam, sehingga waktu setengah jam terasa berlalu ditempat makan itu. Masih banyak hal yang ingin dibicarakan, namun waktu jua yang membatasi. Saya dan Reza harus kembali lagi ke medan perjuangan untuk bisa mengurus penundaan.

Setelah membayar uang makan dan minum, saya segera mengajak Reza untuk bergegas ke lantai 5 rektorat UB. Agar tak antri lagi seperti tadi pagi, begitu pikiriku. Ternyata dugaanku kali ini salah lagi. Malah, antrian yang saya temui seakan berlipat – lipat lebih banyak dari tadi pagi. Ah, wallahu’alam..apakah orang – orang yang antri ini lebih mementingkan urutan antrian daripada sholat jum’at ? saya tak tahu masalah itu.

Yang jelas, kini kami harus berdiri lagi. Berjejal – jejal dengan para pemohon penundaan yang lain. Permohonan Reza yang harusnya bisa selesai tadi pagi, dan dijanjikan akan segera diberi keputusan setelah sholat jum’at, ternyata masih diperpanjang juga. Seperti saat kejadian Reza yang berusaha mengklarifikasi kepada satpam yang bertugas menjaga pintu. Bukanya bantuan yang didapat, malah jawaban ketus yang tidak bersahabatlah yang disuguhkan oleh satpam itu. Ah, apa seperti ini yang namanya pelayanan publik yang baik itu ?

Untunglah , ternyata diantara mereka masih ada juga yang baik. Seperti bapak yang berbaju batik coklat itu. Entah namanya siapa,saya belum sempat berkenalan. Yang jelas, bapak itu salah satu petugas yang ditunggu – tunggu banyak orang. Karena dari tanda tanganyalah, keputusan diterima atau tidak sebuah penundaan itu berada. Termasuk milik Reza. Akhirnya, jam 13.35an, bapak itu memanggil nama Reza. Dan memberikan sebuah memo kecil, entah isinya apa, saya belum tahu. Yang saya tahu adalah, ketika sesaat Reza menerima itu, ada air mata tipis yang menghiasi pipinya. Hal ini yang membuat saya semakin penasaran. Memang hanya ada dua kemungkinan dalam memo itu. Jika tidak di tolak ya diterima.
Segera, setelah Reza agak dekat dengaku, saya bertanya padanya .

“Bagaimana akh ?

“Alhamdulillah..Allahu Akbar, saya jadi kuliah di Brawijaya mas..!”” jawabnya.

Dengan jawaban seperti itu saya bisa menyimpulkan bahwa, penangguhan pembayaran yang diajukan Reza diterima oleh rektorat. Dan, memang salah satu arti dari itu adalah, Reza jadi kuliah di Brawijaya. Karena, itu artinya Reza hanya dikenakan pembayaran setengah dari total seluruh pembayaran 7 koma sekian juta. Dia sendiri, saat ini telah membawa uang sekitar 800 ribu, lalu ada bantuan dari drg Utsman (entah beliau memperoleh darimana) 2,5 juta, dan tadi pagi mbak sulih juga mentransfer 1,15 juta ke rekening saya. Itu artinya jika semua di total, maka sudah lebih dari sekedar biaya minimal untuk bisa kuliah di Brawijaya. Allahu Akbar.. Mengingat itu semua membuat saya meneteskan air mata. Tadi malam jam 20.00, Reza masih belum memegang uang sama sekali. Dan sekarang, cita – citanya untuk bisa menimba ilmu di kampus biru ini akan segera terwujud. Oleh karena tekadnya yang membaja itulah, maka kegiatan selanjutnya yang tak kalah melelahkanpun, kami lalui dengan senang hati, mulai dari membayar registrasi ke bank mandiri. Pendaftaran ke fakultas, dan lain sebagainya. Sungguh hari yang luar biasa. Tepat jam 15.45, reza keluar dari fakultasnya dengan wajah yang ceria. Dan mengatakan,

“Mas..alhamdulillah, semua sudah beres, saya sudah menjadi mahasiswa UB”..

“Barakallah..” jawabku singkat sambil menjabat erat tangannya.

Sesaat seteleh itu, segera kuhubungi drg Ustman dimagetan, untuk mengabarkan hal ini kepada beliau. Karena begitulah pesan beliau tadi pagi. Dan serak suara bahagia pula yang saya dengar dari seberang telfon. Kemudian saya juga mengirim sebuah sms kepada mbak sulih.

”Asw. Alhamdulillah mbak..semua proses daftar ulang sudah beres..”

Dan sms balasannya, yang sampai saat ini belum saya hapus adalah ,
“Jazakallah ya akhi..antum dan akh Reza adalah pribadi2 yang menginspirasi saya hari ini.”

Memang , hari ini adalah hari yang penuh keajaiban. Hari pembuktian Allah, kepada doa – doa dan ikhtiar hambanya. Hari pembuktian materi – materi liqo yang diterima setiap peKan, tentang ikhwah, tentang persaudaraan, tentang itsar, tentang tafahum, tentang ketsiqohan,, dan tentang PERJUANGAN.

Untuk Reza, hari - hari yang akan datang adalah milikmu..ambillah, dan buktikanlah janji – janjimu. Doa kami selalu senantiasa menyertaimu.

to be continue dikehidupan nyata.

No comments:

Post a Comment