MENUNGGU BEBAN






Amanah hanya akan dibebankan pada pundak yang siap
-Reza Yoga (2013)-







Setiap manusia hidup dengan peran mereka masing-masing. Peran itu lah yang akhirnya turut melahirkan tanggung jawab. Saya biasa menyebutnya amanah. Ada amanah yang tersemat di setiap peran yang kita miliki, entah sebagai seorang anak, seorang mahasiswa, seorang karyawan, bahkan seorang pemimpin. Semuanya berdampingan dengan sebuah amanah. Tentu dengan kadar yang sesuai dengan kualitas pribadi tiap orang.

Amanah sejatinya tak bisa terhindarkan. Mau tidak mau, suka tidak suka, suatu saat akan sampai juga di pundak kita. Jika tidak sekarang maka besok, jika tidak besok maka lusa. Misal jika anda belum siap menikah sekarang, bukankah suatu saat nanti anda juga akan tetap menikah ? Sejak  awal penciptaan manusia di muka bumi ada amanah besar yang dibebankan pada seluruh manusia untuk memakmurkan bumi dan mengagungkan Tuhan, sedangkan amanah anda sebagai pendidik, penegak hukum, bahkan kepala keluarga, merupakan turunan dari amanah besar tersebut.

Apabila anda melihat dengan mata saya, anda akan melihat hidup ini seperti menaiki tangga. Kita berjalan tingkat demi tingkat, dengan standarisasi level dan berbagai amanah berbeda yang meningkat intensitasnya setiap kali anda menapaki anak tangga yang lebih tinggi. Anda tidak akan sanggup melangkah ke jenjang yang lebih tinggi jika anda belum menyelesaikan amanah anda di tingkat sebelumnya.

Jika kita tidak bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil dan sepele, bagaimana kita akan diberi tanggung jawab untuk masalah yang lebih besar ? apakah iya kita akan mendapat kepercayaan untuk mengurus keindahan tata kota jika mengurus kerapian kamar sendiri saja tidak becus ? bagi saya itu tidak pada tempatnya, dalam bahasa lain : Dholim. Dan bukan tabiat Tuhan untuk dholim terhadap hamba-Nya.

Sama seperti bahwa Tuhan tidak akan membebankan sebuah amanah melebihi kemampuan hamba-Nya. Amanah itu diberikan secara adil, merata sesuai kualitas dan kapasitas yang kita miliki. Akhirnya ketika suatu amanah datang kepada kita tanpa kita sangka sebelumnya, maka itu merupakan sebuah penanda bahwa kita sudah siap. Pertanda bahwa pundak dan hati kita sudah cukup lapang untuk menanggung segala konsekuensinya.

Jika memang demikian, hal terbijak yang bisa anda lakukan selama ‘menunggu’ amanah itu datang adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Agar kesiapan kita saat menerima amanah tersebut ada di kondisi paling prima. Serta menjaga suhu kerja kita tetap on fire sehingga kita bisa mencapai kecepatan maksimum bahkan saat amanah itu baru sampai di pundak kita.

Bukankah kita sibuk mempersiapkan diri ikut bimbingan belajar sebelum menyandang amanah sebagai mahasiswa ? bukankah kita sibuk mengikuti sekolah pra nikah sebelum menyandang amanah sebagai kepala rumah tangga ? bukankah kita sibuk mengikuti diklat pra jabatan sebelum menyandang amanah sebagai pemimpin ?

Ya, jika tidak sekarang, kapan kita akan menyiapkan diri untuk amanah-amanah tersebut, sedangkan kita tidak tahu kapan amanah itu akan datang.

Amanah itu memang berat, terkadang sampai memunculkan kegelisahan yang amat sangat. Tak cukup, setan kadang menelusup di dada dan terus meneriaki kita untuk mundur, berusaha meyakinkan bahwa kita tidak siap menanggungnya. Berhenti, mundur, dan menghindari amanah memang sebuah pilihan, tapi bukankah meningkatkan kualitas diri juga merupakan sebuah kewajiban (kebutuhan) ?

Menghindari amanah sama artinya dengan membatasi diri untuk berkembang, membentuk mental pecundang yang hanya bisa lari dari tanggung jawab, tidak mau memperbaiki diri, menghambat kita untuk naik ke anak tangga yang lebih tinggi. Sebuah anomali atas kondisi ideal manusia yang senantiasa bergerak, berkembang dan menigkatkan kadar kemanusiaannya ke derajat yang lebih tinggi. Ya, mirip anak SD yang tak mau naik kelas.

Ini hanya sebuah pengingat, utamanya untuk diri saya sendiri, bahwa waktu yang paing tepat untuk meng-upgrade diri sebelum amanah itu datang adalah saat ini. Oleh karena sudah berkali-kali diperingatkan bahwa amanah itu berat, jangan sekali-kali meminta sebuah amanah untuk datang pada kita. Mintalah pundak yang kuat untuk menanggungnya, karena Amanah itu hanya akan dibebankan pada pundak yang siap. 

2 comments:

  1. mataku mulai berkaca-kaca saat membaca judul tulisan ini.
    mulai ku baca kalimat demi kalimat, air mata mengalir deras begitu saja tanpa henti.
    sebelum membaca tulisan ini sempat saya ingin menyerahkan amanah koordinator ke orang lain. bukan karena saya paling bisa, tapi saya takut mendzolimi saudara saya. saya takut ALLAH kecewa. tapi ternyata saya lebih takut jika ALLAH tetap akan memberikan amanah(ujian) yang sama dikesempatan yang berbeda karena saya belum lolos dalam ujian ini.
    membaca tulisan Reza, mengingatkan saya sendiri saat saya menasehatkan kondisi seperti ini kepada orang lain. sungguh berat, saat kita bisa menasehatkan kepada orang lain, tapi kita sendiri malah ingin menyerah.
    saya menangis membaca tulisan Reza karena teringat sosok pemimpin Umar Bin Khattab. pengorbanan dan cinta beliau kepada Rasulullah membuat diri ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. masih jauh/sedikit dari ilmu ALLAH yang begitu banyak/luasnya.
    cintanya Umar dan Abu bakar kepada Rasulullah selalu membuat diri ini iri karena beliau berdua sudah diberikan hadiah/kesempatan ALLAH bertemu dan berjuang bersama Rasulullah terlebih dahulu.
    tapi saya ingat dengan nasehat saudara saya, ternyata Rasulullah juga sangat merindukan ummatnya yang belum pernah ia lihat sebelumnya untuk segera bertemu disurga ALLAH.
    semoga kita adalah ummat yang diRidhoi ALLAH menjadi ummat Muhammad yang ia rindukan untuk bercengkrama di surga-NYA kelak. aamiin, insyaALLAH.
    yaitu ummat Muhammad yang memperjuagkan agama ALLAH sampai akhir hayatnya.
    (Qs. Muhammad : 7)

    ReplyDelete
    Replies
    1. MasyaAllah, semoga tulisan ini mendatangkan manfaat dan bukan sebaliknya

      Delete