Murrabi' Pertama



Penting bagi seorang manusia untuk tampil jujur apa adanya tanpa berusaha menutupi dirinya yang sebenarnya
-Reza Yoga (2011)-



Semuanya terjadi di masjid sekolah saat saya masih duduk di bangku SMA. Saat itu saya masih kelas satu :  culun, polos dan lugu. Walaupun saya selalu menganggap bahwa diri saya dewasa sebelum waktunya, tetapi kesan tersebut tak akan pernah bisa lepas dari siswa baru seperti saya. Bukan hanya saya, tapi semua siswa baru di seluruh penjuru dunia.


Entah siapa yang pertama kali mengajak, tapi akhirnya saya memutuskan untuk bergabung dalam ekstra kurikuler keagamaan di sekolah saya. Saya tidak yakin bahwa niatan saya bergabung dalam ekstra kurikuler tersebut adalah benar-benar dalam rangka memperbaiki diri. Akan tetapi bagaimanapun saya tetap memutuskan untuk bergabung dan hadir dalam pertemuan pertama.

Saya ingat betul pada pertemuan pertama tersebut, kami diajak untuk mengikuti sebuah mentoring keagamaan dalam sebuah small group dengan mendatangkan seorang alumni sebagai pembimbingnya. Saya membayangkan pertemuan siang itu akan menjadi sebuah pertemuan yang membosankan. Duduk terkantuk-kantuk sambil mendengarkan alunan ceramah agama yang sayup-sayup tertiup angin.

Apa yang terjadi selanjutnya membuat saya terkejut. Alumni yang datang untuk membimbing kami adalah seorang pemuda berusia tanggung, jauh dari bayangan kami sebelumnya. Sebelumnya kami menyangka bahwa yang akan datang membimbing kami adalah pria tua berpeci dengan kacamata dan jenggot yang sudah memutih.

Pria itu datang dengan dandanan yang rapi, membawa sebuah tas, memakai sandal dan tampil dengan sangat santai. Selanjutnya, saat ia menyampaikan materi, ia menyampaikan dengan sangat rileks. Tidak seperti gaya bicara seorang ustadz yang terstruktur, seringkali beliau berbicara terbata-bata, salah menggunakan istilah dan beberapa kali lupa ayat. Untuk membuat suasana menjadi santai dan lebih ‘muda’, ia kerap menyisipkan kata-kata gaul dan beberapa kosakata dalam bahasa Inggris.

Bagi saya terdengar sangat lucu. Bagaimana tidak, pengucapan yang belepotan, struktur yang salah kaprah sudah memberikan cukup alasan bagi saya untuk menertawakannya. Tetapi yang paling membuat saya tidak tahan adalah ekspresinya yang benar-benar ‘tanpa dosa’ ! seringkali ia tak tahu bahwa ia mengucapkan kata yang salah, dan saat ia menyadarinya, ia menertawakan kesalahannya.

Bagi saya selalu ada sisi positif. Cara penyampaiannya yang gaul dan santai membuat materi agam yang biasanya susah dicerna menjadi gampang untuk dijangkau. Selain itu saya juga belajar mengenai sebuah hal yang akhirnya menjadikan saya seperti saya yang sekarang. Dari beliau, saya belajar untuk membawakan dan menampilkan diri saya apa adanya.

Hidup sebagai seniman panggung membuat saya seringkali jaga image dan tampil seperti apa yang orang lain harapkan. Akhirnya saya menyadari bahwa penting bagi seorang manusia untuk tampil jujur apa adanya tanpa berusaha menutupi dirinya yang sebenarnya. saya harus menjadi manusia yang lebih jujur pada diri saya sendiri. Menerima segala kelebihan, kekurangan dan masa lalu saya, serta menampilkannya secara jujur pada orang-orang yang ada di sekitar saya.


Bukan Makna syahadatain, bukan Ma’rifatullah, tapi jujur pada diri saya sendiri. Itulah yang pertama kali saya pelajari dari Murabbi’ (Baca : pembina)pertama saya, Murabbi’ yang kini saya rindukan kehadirannya.




No comments:

Post a Comment