TO FORGIVE BUT NOT TO FORGET



Sekali tergores, maka luka tersebut akan terus membekas
-Reza Yoga (2013)-


Orang inggris memiliki ungkapan “to forgive but not to forget”, Kita bisa memaafkan kesalahan orang lain tapi kita takkan dapat melupakannya. Saya memahami sebuah perilaku sebagai sebuah peristiwa. Sekali berlangsung, hal tersebut tidak dapat ‘diambil kembali’ / ‘diputar ulang’. Saat anda mengumpat pada seseorang, peristiwa tersebut dalam konsekuensinya ‘telah terjadi’. Anda tidak bisa memutar kembali jarum jam dan berpura-pura bahwa umpatan tersebut tak pernah terlontar.

Paling-paling anda hanya akan menampilkan perilaku tambahan dengan berkata “maaf”. Dalam konteks ilmu komunikasi, perilaku tambahan tersebut tidak akan merubah perilaku sebelumnya. Hal ini hanya akan berakhir sebagai bagian dari urutan peristiwa yang memicu munculnya pemaknaan yang berbeda.

Sederhananya, anda bisa meminta maaf, dan orang yang diumpat bisa saja memberi maaf, tapi ia tak akan bisa melupakan sakit perasaannya saat ia menerima umpatan tersebut. Anda bisa meminta maaf pada orang yang anda pukul wajahnya hingga meratakan hidungnya, dan ia bisa saja memberi maaf. Tapi hidungnya tetap saja retak, sakitnya masih terasa. Sifat irreversible ini merupakan sebuah implikasi dari komunikasi sebagai sebuah proses yang terus berubah.

Mungkin anda pernah mendengar kisah seorang tokoh yang ‘dibunuh’ oleh pemberitaan Washington post. Surat kabar tersebut memuat berita buruk dan sensasional (yang pada akhirnya terbukti fitnah yang tidak benar) mengenai tokoh tersebut. Walaupun tokoh tersebut telah menggunakan hak jawab, hal itu tak cukup untuk menghapus kesan buruk yang telah tertanam di kalangan masyarakat karena berita bohong tersebut. Sang tokoh kemudian bangkrut, putus asa, dan melakukan bunuh diri.

Dalam konteks ini, kita bisa mengerti bila pengacara kondang Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa penggunaan hak jawab bukan cara terbaik untuk mengatasi masalah pers (melainkan harus melalui pengadilan).

Ini hanya sebuah pengingat bagi kita agar kita berfikir sebelum bicara, berfikir sebelum bertindak. Setiap perkataan dan perbuatan kita tidak bisa tidak meninggalakan kesan pada benak orang lain. Setiap kata dan perilaku kita akan berbekas pada orang lain. Sekali tergores, maka luka tersebut akan terus membekas. Maaf memang bisa menghapus dosa, dan pemberinya bisa mendapat status mulia, tapi luka akan terus menganga dan rasa sakit saat tergores tak akan bisa terlupa.